-->

Memaknai Pembatalan UU BHP

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dimaknai secara berbeda-beda.

Banyak yang berujar bahwa pembatalan tersebut membuat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) “tahlilan”, sedangkan beberapa perguruan tinggi (PT) senang dan berpikir ulang dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN)-nya dengan dicabutnya UU BHP. Sampai saat ini,ada total tujuh PT yang berstatus PT BHMN,yaitu 5 PT yang berstatus BHMN (UI, ITB,UGM,IPB, USU) yang menggunakan PP61 yang mengacu ke Sisidiknas 1989 (dan sudah dicabut oleh UU Sisdiknas 2003) serta dua PT BHMN lain, yaitu UPI dan Unair, yang mengacu pada UU Sisdiknas 2003.


Konsep BHP ternyata ada sejak tahun 1950-an. Dalam dokumen koleksi Arsip Nasional tentang pembentukan BHP tahun 1953, dinyatakan bahwa BHP adalah pilihan keberadaan universitas, bukan kemutlakan (Agus Suwignyo, 2006).Apa pun persepsi kita, keputusan MK tetap perlu didukung dengan mengambil sisi positif dari perspektif keputusan tersebut.

Makna Filosofis PT BHP
Ada tiga tujuan utama dari perubahan menuju BHP bagi PT, yaitu otonomi, transparansi, akuntabilitas, dan daya saing sebagaimana tujuan strategis akhirnya. Otonomi kampus berlatar belakang krisis yang dialami oleh negara di antaranya menyebabkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan secara “mandiri”.
Tahapan awal dari proses otonomi kampus tersebut adalah melalui perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru tersebut, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), tetapi kepada Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai stakeholders dari universitas. MWA terdiri atas unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Meskipun demikian, proporsi suara Mendiknas dalam MWA mempunyai representasi yang besar. Dari sisi transparansi,dampak dari otonomi yang diberikan membuat PT harus mempertanggungjawabkan laporan keuangannya secara transparan dan akuntabel kepada semua stakeholders.
Kampus diberi kebebasan sebesarbesarnya untuk mencari sumber pendanaannya di mana sebanyak 50% akan ditanggung pemerintah, maksimum 33% bisa diambil dari dana masyarakat seperti SPP dan SPI, serta sisanya akan ditanggung bersama oleh pemerintah dan PT. Dengan demikian, tujuan akhir strategis diharapkan akan dapat dicapai secara lebih baik. Dari konsep di atas,secara logis PT seharusnya bisa bertransformasi secara alami dari teaching university menuju ke research university dan pada akhirnya menjadi entrepreneurial university. Roh sejati dari BHP adalah meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai berbasis riset sehingga dapat menghasilkan riset bermutu yang bisa dikerjasamakan pendanaannya dengan industri, riset dengan hasil banyak paten,serta knowledge based incomelain.

Implementasi dari PT BHP

Berbeda dengan semangat filosofisnya, pada kenyataannya banyak PTN yang sudah ber-BHP mengeluhkan bahwa target knowledge based incomemereka tak sesuai dengan harapan.Apa yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya yang maksimal 33% adalah dengan cara paling gampang menaikkan SPP mahasiswa ataupun membuat bisnis yang “biasa”dan “bisa”dilakukan oleh bukan perusahaan berbasis riset seperti mendirikan pusat perbelanjaan, asrama, SPBU, dll yang hanya bersifat “efisiensi” kebutuhan internal.
Kebutuhan total biaya operasional dari PT tersebut semakin tinggi dengan tuntutan yang tinggi terhadap capaian standar pelayanan minimal (SPM) hingga internasionalisasi peringkat. Mencapai SPM sebagaimana kriteria akreditasi bagi beberapa PT yang jauh dari pusat pemerintahan saja sudah sulit, apalagi mencapai peringkat internasional. Mencapai peringkat internasional tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit di mana kebutuhan dana tersebut terserap untuk investasi hardware maupun investasi human capital. Oleh karena itu,“pemaknaan” dan “strategi” yang salah tentang bagaimana kita mencapai peringkat internasional akan menyedot dana keuangan kita ke luar negeri tanpa ada investasi pengembalian yang pasti.
Sebagai contoh, PT perlu memilih kendaraan “peringkat internasional”- nya dengan mempertimbangkan sisi kompetitif (daya saing) ekonomi negara dan sisi “komparatifnya”. Misalnya, pemilihan bidang sastra dan musik tradisional daerah tertentu sebagai kendaraan “peringkat internasional” suatu PT di Indonesia memang dari sisi komparatif adalah pilihan jitu, tetapi hanya menghasilkan sedikit dampak ekonomis bagi daya saing bangsa. Oleh karena itu,konsep uniqueness produk dan kemampuan PT dalam melakukan kerja sama dengan industri maupun lembaga penelitian nasional di dalam negeri seperti BPPT, Ristek akan sangat mendukung keunggulan daya saing produk risetnya. Dengan demikian, pencapaian peringkat internasional kita tidaklah bersifat semu, yaitu tampaknya hebat,tetapi dana operasional terkuras secara tidak efisien ke luar negeri.

Solusi ke Depan
Mengingat spirit BHP sebenarnya adalah baik,sudah seharusnya meskipun tanpa menggunakan “baju”BHP,PT perlu mengakomodasi spirit profesional tersebut, baik dalam bentuk BLU ataupun model yayasan pendidikan yang lain.Apa pun status badan hukumnya, apakah BHP atau BLU, yang penting adalah diberikannya otonomi yang seluas-luasnya tidak hanya dari sisi akademik, tetapi juga keuangan, SDM, organisasi, dan manajemen.
Dengan keragaman bentuk organisasi dan keotonoman tersebut, peran Dikti sebagai fasilitator dan regulator dituntut untuk mampu secara kreatif menyelaraskan program antara PT dengan keanekaragaman model organisasi serta auditnya.Misalnya,bila tujuannya adalah untuk mengontrol yayasan pendidikan yang tidak profesional, klausul pengelolaan anggaran bisa dimasukkan sebagai komponen penilaian dalam akreditasi institusi,demikian juga dengan audit untuk tujuan transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, di zaman keterbukaan informasi sekarang ini, “akreditasi” dari masyarakat dan pengguna lulusanlah yang akan mengontrol secara sosial mutu suatu PT.
Dengan pemahaman demikian, tujuan strategis dari “roh” BHP tetap bisa dijalankan secara seimbang sebagaimana kemungkinan dampak negatif dari implementasi BHP seandainya tidak dibatalkan MK.(*)

Priyo Suprobo
Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

LihatTutupKomentar
Cancel